Niat adalah kunci bagi seluruh amal perbuatan yang dilakukan oleh setiap muslim. Oleh karenanya, dalam berkata dan bertindak, setiap muslim harus terlebih dahulu menghadirkan niat yang baik, sehingga ucapan dan perbuatannya berbuah menjadi kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda:
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Semua amal perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi masing-masing orang (tergantung pada) apa yang diniatkannya” (Hadits Shahih. Muttafaq Alaih, Diriwayatkan oleh Bukhari No. 1 dan Muslim No. 1907)
Mengomentari hadits tersebut, Ibnu Rajab berkata: “setiap amal perbuatan - sah atau rusaknya, diterima atau ditolak, berpahala atau tidak berpahala - ditentukan oleh niat-niatnya.” Dengan niat yang baik, amal perbuatan yang sederhana bisa menghasilkan pahala yang besar. Sebaliknya, karena niat yang salah, amalan yang besar sekalipun, bisa jadi hanya seperti debu yang beterbangan.
Oleh karena itu, setiap amal perbuatan, apapun bentuknya, berpeluang mendatangkan pahala kebaikan apabila dilakukan dengan niat yang baik. Contohnya dalam hal memberikan nafkah kepada keluarga, apabila diniatkan untuk menjalankan kewajiban yang Allah perintahkan, maka perbuatan ini insya Allah akan mendatangkan pahala kebaikan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW:
إِنَّك لَنْ تَنْفَقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ فِي امْرَأَتِكَ
“Tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang engkau maksudkan untuk mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya termasuk apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu”. (Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari No. 54)
Demikian pula, setiap amal perbuatan yang dilandasi oleh niat yang salah maka perbuatan tersebut tidak akan mendatangkan pahala kebaikan sama sekali, bahkan sebaliknya, berujung pada kesia-siaan dan balasan yang menghinakan.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini :
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia dihadirkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), dan ia pun mengakuinya. Kemudian Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan sebagai orang yang gagah berani.' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu di atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.
Berikutnya (yang diadili) adalah seorang penuntut ilmu yang mengajarkan ilmunya serta membaca Al-Qur`an. Ia dihadirkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), dan ia pun mengakuinya. Kemudian Allah bertanya kepadanya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, aku juga membaca Al-Qur`an hanyalah karena Engkau semata.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (orang berilmu) dan engkau membaca Al-Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari' (pembaca Al-Qur`an yang baik).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu di atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.
Selanjutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia dihadirkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), dan ia pun mengakuinya. Kemudian Allah bertanya kepadanya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab: 'Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, dan aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman: 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu di atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim No. 1905)
Di sinilah pentingnya membangun seluruh amal perbuatan di atas niat yang lurus. Sebab, niat adalah intisari amal perbuatan dan pilarnya. Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa menjaga keikhlasan niat dalam seluruh amal perbuatan, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
"dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (Q.S. Al-Bayyinah: 5).
Niat Baik Tetap Akan Menjadi Kebaikan Walaupun Belum Terlaksana
Jika seorang muslim berniat melakukan perbuatan baik, akan tetapi perbuatan tersebut belum terlaksana, maka ia tetap akan mendapatkan pahala dari niat baiknya tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah Azza Wa Jalla telah berfiman:”
إِذَا تَحَدَّثَ عَبْدِي بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَمْ يَعْمَلْ فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
"Apabila hamba-Ku berniat akan melakukan satu kebaikan maka Aku mencatat untuknya satu kebaikan walaupun ia belum melakukannya. Jika ia melakukannya, maka Aku mencatat untuknya sepuluh kali lipat." (Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, Mukhtasar Shahih Muslim I/82).
Dalam riwayat lain, Anas bin Malik RA bercerita, “Kami kembali dari perang Tabuk bersama Nabi SAW, kemudian beliau bersabda:”
إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلَا وَادِيًا إِلَّا وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
“Sesungguhnya ada beberapa kaum muslimin di Madinah, yang tidak ikut berperang bersama kita, tidaklah mendaki bukit, tidak pula menyusuri lembah, akan tetapi mereka bersama kita (dalam mendapatkan pahala berperang), yaitu mereka - yang sudah berniat ikut berperang, tetapi - tertahan oleh udzur." (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari No. 2626)
Niat baik yang menjadi pahala tersebut tentu bukanlah niat yang sekadar ucapan di lisan saja. Bukan pula niat yang hanya sekedar terbersit di dalam pikiran saja. Namun, niat yang membangkitkan hati dan seluruh anggota badan untuk melakukan suatu amal perbuatan yang baik semata-mata karena Allah atau karena menaati perintah Allah.
Berhati-Hati Terhadap Niat Buruk
Niat dan keinginan untuk melakukan amal perbuatan yang buruk apabila tidak segera ditaubati dan terbawa mati, maka akan membawa pelakunya kepada keburukan dan akhir yang buruk.
Rasulullah SAW mengingatkan:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam keadaan sebagai pencuri.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 2410. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Dari Al-Ahnaf bin Qais, ia menceritakan bahwa Abu Bakrah berkata, ‘sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:’
إِذَا تَوَاجَهَ الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ قَالَ فَقُلْتُ أَوْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ قَدْ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ
“Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan menghunus pedang, maka orang yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka“. Saya bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, orang yang membunuh itu sudah jelas akan masuk neraka, tetapi mengapa orang yang terbunuh juga masuk neraka?" Rasulullah SAW menjawab, "Karena ia juga berniat membunuh temannya.” (Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, Mukhtasar Shahih Muslim VIII/170)
Niat Baik Hanya Untuk Perbuatan Baik
Niat baik tidak bisa mempengaruhi perbuatan maksiat dan merubahnya menjadi kebaikan. Di dalam Islam, niat yang suci harus diwujudkan dengan cara yang suci pula. Syariat Islam tidak membenarkan apa yang disebut dengan prinsip al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan), atau prinsip al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang kebatilan).
Dengan demikian, orang yang menggunjingkan kejelekan seseorang dengan niat untuk menyenangkan hati orang lain, atau orang yang membeli kupon undian dengan niat untuk membantu pembangunan masjid, atau orang yang melakukan korupsi dengan niat untuk menghidupi keluarga, membantu anak yatim, fakir miskin dan sebagainya, maka perbuatan mereka itu tetaplah sebuah dosa walaupun berdalih niatnya baik.
Wallahu A’lam bis Shawab
Hasbi Ash Shiddieq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar